DEKONSTRUKSI

Dekonstruksi adalah istilah yang dipakai untuk sebuah teori pembacaan (atheory of reading) yang bertujuan untuk melakukan “subversi” atau “penghancuran” atas klaim implisit bahwa sebuah teks memiliki landasan yang cukup, dalam sistem bahasa yang dipakainya, untuk menetapkan batas-batasnya sendiri, koherensi atau kesatuannya, dan makna tetap tak berubah dari unsur-unsur verbalnya. Menurut teori ini, tidak ada teks yang mampu merepresentasikan secara tetap, apalagi menunjukkan, “kebenaran” dari subjek apapun.
Dekonstruksi, bersama dengan teori neo-Freudian Jacques Lacan dan kritik sastra Roland Barthes setelah sekitar tahun 1973, sering disebut sebagai poststrukturalis karena menggunakan konsep-konsep linguistik Saussurean dan aspek-aspek lain dari strukturalisme dalam sebuah cara yang justru menghancurkan landasan sistem linguistik Ferdinand de Saussure dan strukturalisme itu sendiri, dan menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa makna teks apapun tetap “terbuka” secara radikal bagi pembacaan-pembacaan yang kontradiktif.
Pencipta dan pemberi nama dekonstruksi adalah pemikir Perancis Jacques Derrida, yang pendahulu-pendahulu utamanya adalah Friedrich Nietzsche (1844-1900) dan Martin Heidegger (1889-1976) – filsuf-filsuf Jerman yang melakukan pertanyaan radikal atas validitas dari konsep-konsep kunci filsafat seperti “pengetahuan”, “kebenaran”, dan “identitas” – dan juga Sigmund Freud (1856-1939) dengan psikoanalisisnya yang menghancurkan konsep-konsep tradisional tentang “kesadaran” yang koheren dan kesatuan dari “diri”. Derrida menyajikan pandangan-pandangan dasarnya dalam tiga buku, semuanya terbitan tahun 1967, yaitu OF GRAMMATOLOGY, WRITING AND DIFFERENCE, dan SPEECH AND PHENOMENA; setelah itu Derrida mengulang, meluaskan dan menerapkan pandangan-pandangannya itu dalam banyak publikasi beruntun.
Tulisan-tulisan Derrida kompleks dan tidak mudah untuk dimengerti; ringkasannya di sini hanya menunjukkan indikasi dari beberapa kecendrungan-kecendrungan utamanya. Posisi Derrida, seperti yang dinyatakannya dalam OF GRAMMATOLOGY, adalah apa yang disebutnya “proposisi axial bahwa tidak ada apa-apa di luar teks” (“il n’y a rien hors du texte”, atau alternatif lainnya, “il n’y a pas de hors-texte”). Seperti semua istilah dan pernyataan kunci Derrida, pernyataannya di atas memiliki banyak arti; tapi arti utamanya adalah seseorang tidak dapat melampaui urutan tanda-tanda verbal (the sequence of verbal signs) untuk mencapai sesuatu di luar, dan independen dari, sistem bahasa yang membentuk sebuah teks – misalnya, referentnya, atau maksud dari pembicara atau penulis sebagai arti yang menentukan. Apa yang selalu dinyatakan Derrida adalah bahwa tidak hanya semua filsafat atau teori bahasa Barat tapi semua pemakaian bahasa Barat – makanya, semua kebudayaan Barat – merupakan “logocentric” (yakni, didasarkan pada sebuah “logos”, atau dalam sebuah frase yang dipinjamnya dari Heidegger, “metafisika keberadaan” (the metaphysics of presence)), dan semuanya logocentric karena sebagian besar “phonocentric” (yakni, secara implisit ataupun eksplisit, “prioritas” atau “hak istimewa” logis diberikan pada ujaran daripada tulisan, sebagai model untuk menganalisis semua wacana). Dengan logos atau “keberadaan” Derrida maksudkan sebagai apa yang dia juga sebut sebagai sebuah “referent utama” – sebuah absolut, atau dasar, atau fondasi yang menjelaskan-dirinya-sendiri (self-certifying) yang secara langsung hadir dalam kesadaran kita di luar permainan bahasa (play of language) itu sendiri, yang cukup untuk “memusatkan” (yakni menetapkan dan mengatur) sistem linguistik dan menentukan arti tetap dari gagasan yang diucapkan atau dituliskan dalam sistem tersebut. Contoh-contoh historis dari pernyataan tentang suatu dasar yang absolut adalah Tuhan sebagai penjamin validitas bahasa, atau suatu Bentuk Platonic (Platonic Form) dari referensi sebenarnya dari sebuah “term” yang hanya bisa ditangkap oleh visi mental seseorang, atau sebuah maksud (intention) yang menandakan sesuatu yang tetap yang langsung diketahui oleh seseorang yang membuat ujaran (utterance). Derrida ingin menunjukkan bahwa semua usaha filsafat untuk membuktikan adanya suatu dasar yang absolut, dan semua ketergantungan tersirat pada dasar seperti itu dalam pemakaian bahasa, adalah isapan jempol belaka; Derrida secara khusus mengarahkan argumen-argumen skeptisnya melawan asumsi phonocentric – yang dianggapnya penting dalam teori-teori bahasa modern – bahwa pada saat berbicara, “maksud” dari si pembicara, yang menentukan arti dari apa yang dikatakan, secara langsung dan lengkap ada dalam kesadaran si pembicara tersebut, dan bisa
dikomunikasikan kepada seorang pendengar.
Derrida mengambil konsep alternatifnya tentang permainan arti-arti linguistik yang secara radikal “tak bisa ditetapkan” terutama dari pandangan Saussure bahwa dalam sistem-tanda linguistik, baik “signifier” (unsur material dari bahasa, diucapkan ataupun dituliskan) maupun “signified” (makna konseptualnya) kelihatan seolah-olah sama, bukan karena unsur “positif” atau sifat-khasnya, tapi karena “perbedaan” (differences)-nya dari bunyi-ujaran, tanda tertulis, atau signifikasi konseptual lainnya. Dari perspektif ini Derrida mengembangkan pandangan radikalnya sendiri bahwa unsur-unsur yang akan secara ketat menetapkan sebuah arti “signified” – karena signifikasi ini tak lebih daripada sebuah jaringan perbedaan (differences) dari arti-arti “signified” lainnya – tidak pernah “ada” pada kita dengan indentitas mereka sendiri. Di sisi lain, unsur-unsur identitas ini pun tidak bisa dikatakan benar-benar “absen”; sebaliknya, dalam ujaran (utterance) lisan atau tertulis apapun, signifikasi yang seolah-olah ada hanyalah merupakan hasil dari sebuah “penghapusan-sendiri” (self-effacing) “trace” (jejak) – dikatakan penghapusan-sendiri karena kita tidak menyadarinya – yang terdiri dari semua arti yang tidak-ada yang perbedaan-perbedaannya dari contoh dimaksud merupakan faktor satu-satunya yang menanamkan dalam ujaran itu “efek” memiliki sebuah arti dalam dirinya.
Konsekuensinya, menurut Derrida, adalah bahwa kita tidak akan bisa memiliki sebuah arti yang tetap, atau dapat diputuskan; namun Derrida juga menyatakan bahwa permainan bahasa yang berbeda akan menghasilkan “efek-efek” ilusi arti tetap.
Dengan caranya yang khas Derrida menciptakan istilah portmanteau “differance”, dimana katanya dia menggunakan ejaan “-ance” sebagai pengganti “-ence” pada kata benda tersebut untuk menunjukkan sebuah gabungan dari dua arti dari kata kerja Perancis “differer”: membedakan, dan menunda. Maksud dari arti ganda ini adalah bahwa di satu sisi memang ada sebuah “efek” arti dalam sebuah ujaran yang terjadi karena perbedaannya dari arti-arti lainnya, tapi di sisi lain, karena arti ini tidak akan bisa hadir dalam sebuah keberadaan yang sebenarnya, atau “transcendental signified”, spesifikasi tetap-nya ditunda dari satu interpretasi linguistik substitusi ke interpretasi linguistik substitusi lainnya, dalam sebuah gerakan, atau “permainan”, tanpa henti. Arti dari ujaran lisan atau tertulis apapun, seperti yang dinyatakan Derrida dalam satu lagi istilah ciptaannya, di”disseminasi”kan – sebuah istilah yang artinya termasuk, di antara signifikasi-signifikasinya yang disengaja kontradiksi, memiliki sebuah efek arti (sebuah efek “semantik”), menyebarkan arti di antara sejumlah alternatif, dan penyangkalan atas arti tertentu apapun. Karenanya tidak ada dasar, dalam permainan “differance” tanpa henti yang membentuk bahasa, untuk mengatribusikan sebuah arti yang bisa ditentukan, atau bahkan seperangkat multi-arti tetap (yang disebutnya sebagai “polysemism”), pada ujaran lisan atau tulisan apapun. Seperti yang dinyatakan Derrida dalam bukunya WRITING AND DIFFERENCE, hal. 280: “Tidak adanya sebuah signified transendental meluaskan tempat dan permainan signifikasi secara tak terbatas.”
Dua lagi dari cara kerja skeptis Derrida telah jadi sangat penting bagi kritik sastra dekonstruksi. Pertama adalah usahanya untuk menunjukkan bahwa kita tak dapat menetapkan sebuah batas atau margin tetap atas sebuah karya tekstual dengan maksud untuk membedakan apa yang “di dalam” dengan apa yang “di luar” karya tersebut. Kedua adalah analisisnya atas ketidaklogisan inheren, atau retorika – ketergantungan yang tak dapat dihindarkan pada “rhetorical figures” dan “figurative language” – dalam semua pemakaian bahasa, termasuk dalam argumen-argumen yang dibuat logis dalam filsafat. Derrida, misalnya, menekankan peranan yang tak bisa ditolak dalam semua jenis wacana (all modes of discourse) dari metafor yang dianggap hanya sebagai pengganti belaka bagi arti “literal” (sebenarnya) atau yang “pantas”; tapi dia juga berusaha untuk menunjukkan bahwa metafor tidak bisa direduksi menjadi arti sebenarnya, dan sebaliknya apa yang dianggap sebagai istilah sebenarnya adalah metafor yang sifat kemetaforannya sudah terlupakan.
Prosedur khas Derrida bukanlah menjelaskan secara terperinci konsep-konsep dan cara kerja dekonstruktifnya dalam sebuah eksposisi yang sistematis, tapi dengan membiarkannya untuk muncul sendiri dalam urutan contoh “close readings” (pembacaan seksama) atas kutipan-kutipan dari tulisan-tulisan mulai dari Plato ke Rousseau sampai zaman ini – tulisan-tulisan, yang dalam klasifikasi standar, kebanyakan tentang filsafat, walau kadang-kadang ada juga tentang sastra. Dia menyebut prosedurnya ini sebagai sebuah “double reading” (pembacaan ganda). Mula-mula dia menginterpretasi sebuah teks sebagai, seperti dalam pembacaan umumnya, “lisible” (bisa dibaca atau dimengerti), karena menimbulkan “efek” memiliki arti tetap. Tapi pembacaan ini, kata Derrida, hanyalah “sementara”, sebagai loncatan ke pembacaan kedua, atau “pembacaan kritis” dekonstruktif, yang mendisseminasikan arti sementara itu ke dalam rangkaian signifikasi tak berhingga yang, menurut Derrida, selalu melibatkan (dalam sebuah istilah yang diambil dari retorika) sebuah “aporia” – sebuah jalan buntu, atau sebuah “ikatan ganda”, antara arti-arti yang saling bertentangan yang “tak bisa diputuskan”, yaitu kita tidak punya dasar kuat untuk memilih dari antaranya. Akibatnya adalah tiap teks akan mendekonstruksi dirinya sendiri, dengan merusak dasarnya yang dianggap ada dan menyebarkan dirinya dalam arti-arti yang tidak koheren, dalam sebuah cara, menurut Derrida, yang bukan diciptakan oleh si pembaca dekonstruktif, tapi hanya dieksposnya belaka. Lebih jauh Derrida sadar bahwa dia tidak memiliki pilihan kecuali mengekspresikan dan berusaha mengkomunikasikan pembacaan-pembacaan dekonstruktifnya sendiri dalam bahasa logocentric yang ada, makanya teks-teks interpretasinya sendiri mendekonstruksi dirinya sendiri saat melakukan dekonstruksi atas teks-teks tempat mereka diaplikasikan. Tapi Derrida menekankan bahwa “dekonstruksi bukanlah destruksi”, dan bahwa semua pemakaian bahasa yang standar akan tetap saja berlangsung terus; apa yang dia lakukan, katanya, hanyalah “mensituasikan” atau “menulis kembali” semua teks-teks itu dalam sebuah sistem differance yang menunjukkan bahwa, walau teks-teks tersebut kelihatannya bisa dimengerti, itu terjadi karena “efek-efek” yang terbukti tidak memiliki dasar yang cukup.
Derrida tidak memaksudkan dekonstruksi sebagai sebuah mode kritik sastra, tapi sebagai sebuah cara untuk membaca teks dalam semua pemakaian bahasa apapun. Namun pandangan dan prosedurnya dimanfaatkan oleh kritikus sastra, khususnya di Amerika, dengan mengadaptasikan mode “pembacaan kritis” Derrida yang terperinci itu dengan semacam “pembacaan seksama” (close reading) atas teks-teks sastra tertentu yang sebelumnya merupakan prosedur khas New Criticism (Kritik Baru); tapi hal ini dilakukan, seperti yang dinyatakan Paul De Man, dalam sebuah cara yang menunjukkan bahwa pembacaan seksama ala Kritik Baru “belumlah benar-benar seksama”. Hasil akhir dari dua jenis pembacaan seksama ini benar-benar berbeda.
Eksplikasi teks oleh Kritik Baru berusaha menunjukkan bahwa sebuah karya sastra besar, dalam hubungan internal yang ketat dari arti-artinya yang figuratif dan kadang-kadang paradoks, merupakan sebuah entitas mandiri, terbatas, dan benar-benar organik dari berbagai arti yang tetap. Sebaliknya, sebuah pembacaan seksama dekonstruksi berusaha menunjukkan bahwa, dalam analisis terakhir, sebuah teks sastra ternyata tidak memiliki batas “total” yang membuatnya menjadi sebuah entitas, apalagi sebuah kesatuan organik, dan tidak ada dasar yang cukup bagi prosedur-prosedur linguistiknya sendiri, dan karenanya arti-artinya yang kelihatan tetap itu ber-disseminasi menjadi aporia-aporia, atau signifikasi-signifikasi yang saling berlawanan, yang tak terhingga. Para kritikus dekonstruksi kadang-kadang mengklaim bahwa sebuah teks sastra lebih tinggi, dan kurang “self-delusive”, dibanding teks non-sastra, karena teks sastra menunjukkan, dalam referensi atas dirinya sendiri, bahwa dirinya lebih sadar atas unsur-unsur yang dimiliki oleh semua teks: fiksionalitasnya, tidak adanya sebuah dasar yang sebenarnya, dan terutama “retorika”-nya (prosedur figuratif yang tak terelakkan) – unsur-unsur yang mendekonstruksi setiap pengandaian adanya referensi, logikalitas, ataupun kemungkinan pembuktian, hingga membuat sebuah “pembacaan yang benar” (right reading) atau “pembacaan yang tepat” (correct reading) dari sebuah teks menjadi tidak mungkin.
Eksponen-eksponen terkenal dari pembacaan seksama dekonstruksi di Amerika termasuk Paul de Man, J. Hillis Miller, Joseph Riddell, Barbara Johnson dan Cynthia Chase. Pusat perhatian mereka berbeda-beda dan prosedur serta tujuan individual mereka beragam. Walau begitu, dengan memakai sebuah pernyataan dari J. Hillis Miller, yang telah menerbitkan banyak pembacaan teks berbagai penyair dan novelis, dapat ditunjukkan hasil radikal dari penerapan dalam analisis teks-teks sastra prosedur Derrida dalam mendekonstruksi dasar-dasar metafisik pemikiran dan tulisan Barat:
“Dekonstruksi sebagai sebuah mode interpretasi bekerja dengan memasuki setiap labirin tekstual dengan hati-hati…. Kritikus dekonstruksi berusaha menemukan, melalui proses penyusuran kembali (retracing) ini, dalam sistem yang sedang dibahas itu unsur yang tidak logis, benang dalam teks yang akan menguraikan semuanya, atau batu yang goyah yang akan meruntuhkan keseluruhan bangunan. Lebih tepatnya, dekonstruksi menghancurkan dasar dimana bangunan itu berdiri dengan menunjukkan bahwa teks tersebut telah lebih dulu menghancurkan dasarnya sendiri, disadari atau tidak. Dekonstruksi bukanlah sebuah pembongkaran struktur sebuah teks tapi sebuah pembuktian bahwa teks tersebut telah lebih dulu membongkar dirinya sendiri.”
Miller menyimpulkan bahwa setiap teks sastra, sebagai sebuah permainan tak henti dari arti-arti “yang tak bisa dirujukkan” dan “kontradiksi”, atau aporia, “tidak pasti” atau “tidak bisa diputuskan”; makanya “semua pembacaan adalah salah baca”.

Satu Tanggapan to “DEKONSTRUKSI”

  1. Please, can you PM me and tell me few more thinks about this, I am really fan of your blog…

Tinggalkan komentar